Math at Home
Salah satu karakteristik matematika adalah objek
kajiannya yang abstrak. Selain itu, mempelajari ilmu ini perlu didasari logika
yang baik. Hal inilah yang barangkali menjadikan matematika sulit untuk bisa
dimengerti oleh sebagian anak karena keterbatasan daya imajinasi dan logika
yang berkembang secara berbeda-beda antara anak satu dengan yang lain. Kurang
dipahaminya peran penting matematika dalam kehidupan sehari-hari menjadikan
anak semakin enggan untuk mencoba sekuat tenaga mempelajari dan menguasai
matematika. Tentu, hal tersebut bukan serta merta dipengaruhi kecerdasan anak
yang kurang. Lingkungan sekitar anak (rumah dan lingkungannya) sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar anak termasuk keberhasilan
belajar matematika.
Setiap hari, manusia selalu beraktivitas. Sebagian besar
aktivitas manusia dapat dipandang sebagai aktivitas matematika. Misalnya,
aktivitas di pasar, dapur, perjalanan, bahkan permainan-permainan yang biasa
dilakukan anak sehari-hari juga merupakan aktivitas matematika. Sebagai contoh,
aktivitas matematika di pasar diantaranya adalah proses tawar-menawar yang
selalu memperhatikan untung dan rugi, pengukuran, penghitungan barang dagangan, penghitungan uang, dan
sebagainya. Aktivitas di dapur yang merupakan aktivitas matematika diantaranya
menakar bahan-bahan yang diperlukan, menentukan suhu oven, menentukan lama
memasak, dan sebagainya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Cox dan Lewis (1999b) yang menyatakan bahwa aktivitas
sehari-hari dapat dipandang sebagai aktivitas matematika.
Aktivitas sehari-hari sebagai aktivitas matematika kurang
disadari oleh sebagian besar masyarakat (orang tua). Sehingga tidak heran apabila
ada anggapan masyarakat bahwa matematika hanya sebagai pelajaran yang dijumpai
di sekolah dan tidak ada keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini
menjadikan orang tua cenderung menyerahkan sepenuhnya proses belajar matematika
anak kepada sekolah. Padahal, orang tua memiliki andil yang besar terhadap
keberhasilan proses belajar anak. Oleh karena itu, anggapan bahwa matematika
hanya sebagai pelajaran yang dijumpai di sekolah perlu segera dibenahi.
Aktivitas sehari-hari sebagai aktivitas matematika belum
terorganisasi dengan baik sehingga proses pembelajaran yang berlangsung adalah
pembelajaran yang tidak bermakna. Padahal, apabila aktivitas tersebut
diorganisasi dengan baik dapat dimanfaatkan untuk membelajarkan matematika
secara kontekstual kepada anak. Math at Home merupakan sebuah program
yang diperuntukkan bagi orang tua/anggota keluarga lainnya dan anak dalam
mengeksplorasi matematika melalui aktivitas sehari-hari dengan memanfaatkan
barang-barang di sekitar.
Pada hakikatnya program Math at Home merupakan
pengorganisasian aktivitas sehari-hari sehingga proses pembelajaran matematika
melalui aktivitas sehari-hari menjadi bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat
McCombs dan Whistler (1997) bahwa pembelajaran akan bermakna apabila berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari anak (WCER, 2000). Pengorganisasian aktivitas
sehari-hari dapat dilakukan dengan cara menentukan tujuan yang ingin dicapai,
menyiapkan bahan yang diperlukan, melaksanakan aktivitas dengan langkah-langkah
yang terarah, mengevaluasi keberhasilan anak, dan mengembangkan aktivitas
sesuai dengan perkembangan anak. Pembelajaran matematika melalui aktivitas
sehari-hari memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan dan menyelesaikan
permasalahan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses
pembelajaran yang demikian, kemampuan anak dalam memecahkan masalah semakin
terlatih.
Anak menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Rumah
menyediakan kesempatan untuk membantu
anak menemukan dan memahami konsep-konsep matematika, misalnya penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian, pengukuran, pengenalan berbagai bentuk
bangun geometri, dan sebagainya. Oleh karena itu, tepat bila dikatakan bahwa
rumah adalah sumber belajar matematika. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam http://www.ed.gov/pubs/parents/, “Your home is full of
opportunities to explore math with your child and, at the same time, build his
or her self-confidence and understanding of mathematical ideas”.
Orang tua/anggota keluarga lainnya perlu mendampingi dan
mengarahkan anak agar dapat menemukan dan memahami konsep-konsep matematika
dalam aktivitas sehari-harinya. Cox dan Lewis (1999b) menyatakan bahwa orang tua dan
anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajar anak.
Selain itu, orang tua juga perlu membangun sikap positif dan kepercayaan diri
anak terhadap matematika.
Math at Home
dapat dilaksanakan untuk anak sejak usia dini. Hal ini sesuai dengan pendapat
Gelman dan Gallistel (1978), Sophian (1996), dan Wynn (1995) (http://anakdankeluarga.blog.com/)
yang menyatakan bahwa anak sudah mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia
sekolah. Pengenalan matematika kepada anak sejak dini dimaksudkan agar anak
dapat merasakan kedekatan matematika dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan
demikian, anak diharapkan semakin menyukai matematika.
Sebagian besar masyarakat Indonesia (orang tua) belum
mengetahui tentang cara memanfaatkan aktivitas sehari-hari untuk membelajarkan
matematika kepada anak (Math at Home). Padahal, Indonesia memiliki
keanekaragaman budaya diantaranya adalah keanekaragaman permainan tradisional
yang berpotensi bagi terlaksananya program Math at Home. Setiap daerah
di Indonesia memiliki permainan tradisional yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
di Jawa terdapat permainan dakon, ganjilan,
bekelan, sunda manda, kecikan, dan sebagainya. Permainan-permainan tersebut
merupakan permainan tradisional yang sarat dengan pembelajaran matematika dan
juga pembelajaran nilai seperti nilai-nilai kesederhanan, sportivitas,
kejujuran, dan lain-lain.
Berbagai permainan modern juga dapat digunakan untuk
membelajarkan matematika kepada anak, misalnya permainan ular tangga, monopoli,
sudoku, catur, domino, dan sebagainya. Benda-benda atau objek-objek dalam
bentuk permainan akan sangat berperan dalam pembelajaran matematika bila
dimanipulasi dengan baik (Dienes dalam Erman Suherman dkk, 2003: 49). Orang
tua/anggota keluarga lainnya perlu mendampingi anak agar dapat memperoleh
pemahaman terhadap matematika melalui permainan-permainan yang dimainkannya.
Orang tua dapat memanfaatkan lingkungan (rumah) untuk
mendukung perkembangan kognitif anak. Lingkungan rumah yang dimaksud tidak saja
terbatas pada dalam rumah saja akan tepi lingkungan rumah yang dimaksud adalah
lingkungan luar sekolah seperti rumah, halaman, taman bermain, pasar, swalayan,
jalan, dan sebagainya. Berbagai tempat tersebut
dapat memberikan banyak kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi berbagai
konsep matematika.
Sebagai contoh, bagian rumah yang memberikan kesempatan
bagi anak untuk belajar matematika adalah dapur. Berbagai aktivitas matematika
di dapur diantaranya adalah aktivitas
membuat kue. Saat membuat kue, anak dapat dilibatkan dalam mengukur takaran
bahan yang diperlukan, memeriksa waktu dan temperatur oven, memotong kue yang telah
dibuat dalam beberapa bagian yang sama besar, dan sebagainya.
Aktivitas-aktivitas di atas dapat membelajarkan konsep pengukuran, bilangan,
satuan, dan pecahan kepada anak.
Aktivitas matematika yang dapat dilakukan orang tua untuk
membantu anak belajar matematika di lingkungan rumah, misalnya saat jalan-jalan
santai, mintalah anak untuk menentukan arah utara, selatan, timur, dan barat.
Aktivitas ini dapat membelajarkan koordinat kepada anak. Selama perjalanan (di
bus atau menggunakan kendaraan pribadi), ajaklah anak mengamati plat nomor
kendaraan. Mintalah anak menyebutkan plat nomor kendaraan yang berada di depan
atau sampingnya. Aktivitas ini dapat melatih anak mengenal dan menyebutkan
bilangan. Selain itu, kita juga dapat meminta anak untuk membandingkan waktu
dan jarak yang ditempuh dalam perjalanan. Melalui aktivitas tersebut anak akan
memahami konsep kecepatan. Aktivitas lain yang dapat dilakukan oleh orang tua
dalam membantu anak belajar matematika di rumah misalnya, saat keadaan santai,
ajaklah anak bermain “tebak bilangan”. Aktivitas tersebut dapat melatih intuisi
dan kemampuan anak dalam memecahkan masalah.
Aktivitas Math at Home bersifat fleksibel, artinya
orang tua/anggota keluarga lain dapat melakukan aktivitas Math at Home dimana pun dan kapan pun berada, mengembangkan
aktivitas sesuai tingkat perkembangan anak dan dapat dengan barang yang
tersedia di rumah dan menyesuiakan dengan barang-barang yang tersedia di sekitar. Selain
itu, Math at Home tidak membutuhkan biaya banyak karena hanya memanfaatkan
barang-barang yang ada di sekitar dan tidak membutuhkan waktu ekstra karena
sebenarnya aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang sering dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Orang tua hanya perlu mengorganisasikan aktivitas
sehari-hari yang dilakukan anak sehingga anak dapat memperoleh pemahaman
terhadap matematika melalui aktivitas tersebut.
Apa yang mendasari Math at Home...?
Beberapa hal yang
mendasari Math at Home adalah
A.
Anak Belum
Dapat Berpikir Secara Abstrak
Berdasarkan hasil penelitian Piaget dalam Erman Suherman
dkk (2003: 36), pola pikir anak tidak sama dengan pola pikir orang dewasa.
Piaget mengemukakan perkembangan kognitif yang dialami setiap individu yang
lebih rinci, mulai dari bayi hingga dewasa. Kemampuan berpikir anak berkembang
sesuai dengan umurnya. Piaget memandang anak-anak sebagai pemikir kecil (little
philosophers) yang membangun pengetahuan mereka sendiri.
Piaget viewed
children as little philosophers, which he called tiny thought-sacks and
scientist building their own individual theories of knowledge. Some people have
used his idea to focus on what children cannot do. Piaget, however, used their
problem area to help understand their cognitive growth and development (Wikipedia,
2007)
Piaget dalam Atherton (2005) mengemukakan empat tahap
perkembangan kognitif individu yang disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Individu
Menurut Piaget
Tahap
|
Karakteristik
|
Sensori motor
(dari lahir – 2 tahun)
|
Anak memperoleh
pengalaman melalui perbuatan fisik yaitu gerakan anggota tubuh dan sensori
yaitu koordinasi alat indra. Biasanya anak mulai memperoleh pengalaman
belajar dengan menirukan orang lain misalnya anak meniru gerakan badan,
berbicara, menirukan suara burung, dan lain-lain.
|
Pra
Operasi
(2-7
tahun)
|
Pemikiran anak lebih
banyak pada pemikiran konkret daripada pemikiran logis, sehingga jika anak
melihat benda yang kelihatannya berbeda maka anak akan mengatakan berbeda.
|
Operasi
konkret
(7-11
tahun)
|
Anak-anak sudah
dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda konkret. Kemampuan tersebut
terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan
seriasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara
objektif, dan mampu berpikir reversibel.
|
Operasi formal (11 tahun ke atas)
|
Anak sudah mampu
melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak sehingga
penggunaan benda-benda konkret sudah tidak diperlukan lagi.
|
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif
individu dipengaruhi oleh lingkungan (Erman Suherman, 2003: 37). Demikian pula
dengan perkembangan kemampuan bermatematika anak juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Menurut Butterwoth (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kemampuan matematika anak adalah perbedaan konsentrasi, perbedaan
minat atau ketertarikan anak, dan budaya di sekitar anak. Budaya yang dimaksud
Butterworth adalah lingkungan terdekat anak seperti orang tua dan sekolah
(http://anakdankeluarga.blog.com/). Dengan demikian, menumbuhkan minat dan
ketertarikan anak terhadap matematika serta menyiapkan lingkungan yang kondusif
dapat mendukung perkembangan kemampuan bermatematika anak agar dapat berkembang
secara optimal.
Proses pembelajaran matematika perlu memperhatikan
perkembangan kognitif anak. Anak pada usia 0-2 tahun membangun pengetahuannya
melalui alat indra sehingga dalam proses pembelajaran matematika dapat
memanfaatkan alat indra anak yang sudah berfungsi. Nasrulloh Idris (http://centrin.net.id/) menyatakan bahwa bersamaan mulai berfungsinya mata
seorang bayi dengan normal, sekaligus melihat fisik sekitarnya, proses
pembelajaran matematika sesungguhnya sedang berlangsung. Misalnya, dengan cara
memperlihatkan sejumlah bola yang berwarna gelap dan berbahan sama kepada anak
dengan beberapa kali pindah posisi, maka anak akan merasa janggal ketika
banyaknya bola dikurangi atau ditambah. Anak yang berumur satu tahun dan belum
dapat berbicara pun, jika diberikan dua permen dengan ukuran berlainan, anak
biasanya akan memilih permen yang lebih besar. Hal di atas menunjukkan bahwa
anak sudah memiliki kemampuan mengenal matematika sejak dini.
Pada usia 2-7 tahun, pemikiran anak lebih banyak berupa
pemikiran konkret daripada pemikiran logis sehingga dalam membangun pengetahuan
matematika anak memerlukan bantuan benda-benda konkret. Pada usia tersebut anak
membangun pengetahuannya secara pesat, sehingga semakin banyak pengalaman yang
diterima anak maka perkembangan anak menjadi lebih maksimal. Dengan demikian,
orang tua perlu membangun lingkungan yang kondusif bagi anak untuk mendukung
perkembangan kognitif anak.
Anak usia 7-11 tahun atau usia sekolah dasar belum mampu
berpikir abstrak, namun anak sudah dapat berpikir logis dengan bantuan benda
konkret. Anak tidak dapat dipaksakan secara langsung untuk berpikir hal yang
abstrak. Oleh karena itu, pembelajaran matematika untuk anak usia sekolah dasar
masih memerlukan bantuan benda-benda konkret sebagai media pembelajaran.
B.
Pembelajaran
Matematika Untuk Anak
The National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM)
dalam http://www.ed.gov/pubs/EarlyMath/
menyebutkan empat standar pemikiran dalam matematika (thinking math
standards) yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran (reasoning),
komunikasi (communication), dan aplikasi (connections). Sedangkan
standar materi dalam matematika meliputi perkiraan (estimation),
bilangan (number sense), geometri
dan konsep ruang (geometry and spatial sense), pengukuran (measurement),
statistik dan peluang (statistic and probability), pecahan dan desimal (fractions
and decimals), serta pola dan hubungan (pattern and relationships). Dengan demikian, pembelajaran matematika untuk anak
diarahkan kepada standar pemikiran dan standar materi tersebut.
Gelman dan Gallistel (1978), Sophian (1996), dan Wynn
(1995) dalam http://anakdankeluarga.blog.com/ menyebutkan beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa anak sudah mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia
sekolah. Lebih lanjut disebutkan bahwa anak-anak pra-sekolah sudah mengerti
tentang beberapa konsep matematika diantaranya tentang kuantitas, misalnya
banyak atau sedikitnya benda, mengenali perubahan banyaknya benda yang
disebabkan oleh ditambah atau dikurangi dari sekelompok benda, mengurutkan
besar kecilnya suatu benda berdasarkan ukurannya, dan sebagainya. Dengan kata
lain, pada dasarnya anak sudah memiliki kemampuan bermatematika sejak sebelum
usia sekolah.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang senang bermain. Anak
sering melakukan permainan dalam aktivitasnya sehari-hari. Permainan merupakan
tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak terstruktur dan tidak diarahkan
(Erman Suherman dkk, 2003: 49). Jadi, aktivitas dalam permainan memungkinkan
anak melakukan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) baik benda konkret
atau abstrak dari unsur-unsur yang dipelajarinya. Dengan demikian, melalui
permainan anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga
mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Bruner dalam Erman Suherman dkk (2003: 43-44)
mengemukakan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberikan kesempatan
untuk memanipulasi benda-benda. Bruner juga mengemukakan tiga
tahap proses belajar anak, yaitu
1.
Tahap Enaktif
Pada tahap ini anak
secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek.
2.
Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
anak berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang
dimanipulasinya.
- Tahap Simbolik
Pada tahap ini anak memanipulasi
simbol-simbol tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap
sebelumnya. Anak sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap
objek riil.
Menurut Dienes dalam Erman Suherman dkk (2003: 49),
tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Lebih lanjut disebutkan bahwa
benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pembelajaran matematika.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran matematika untuk
anak perlu dibuat semenarik mungkin dan menyenangkan. Penggunaan benda-benda
sekitar maupun permainan dapat membantu anak dalam memanipulasi dan membentuk
mental anak dalam memahami konsep-konsep matematika. Dengan kata lain,
benda-benda di sekitar dan aktivitas sehari-hari anak misal bermain dapat
dimanfaatkan untuk membelajarkan matematika kepada anak.
C.
Matematika
Sebagai Aktivitas Sehari-hari
Standar pembelajaran matematika menurut NCTM (The National
Council of Teachers of Mathematics) di antaranya adalah connecting
mathematics, its ideas, and its apllications (Cox dan Lewis, 1999a). Jadi, konsep-konsep matematika dalam pembelajarannya
perlu saling dihubungkan. Pembelajaran matematika juga perlu dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari.
Jenning dan Dunne (1999) dalam Asmin (2001) menyatakan
bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika
ke dalam kehidupan nyata. Hal ini diasumsikan karena pembelajaran matematika
yang dilakukan kurang bermakna. McCombs dan Whistler (1997) menyatakan bahwa
pembelajaran akan bermakna (meaningful) apabila topik berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari siswa, kebutuhan, dan ketertarikan mereka, dan ketika
siswa terlibat aktif dalam menemukan, memahami, dan mengaitkan pengetahuan
mereka (Winconsin Center for Education Research (WCER), 2000) Jadi, pembelajaran matematika dengan
memanfaatkan aktivitas sehari-hari merupakan pembelajaran yang bermakna.
Realistic Mathematic Education (RME) memandang matematika sebagai aktivitas manusia
sehingga pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita (Asmin, 2001).
Hal senada juga dinyatakan I Gusti Putu Suharta (2001) bahwa pembelajaran
matematika realistik berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize
of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, Bourne dalam Hamzah (2005) memandang matematika
sebagai konstruksi sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu
anak dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan kata lain,
aktivitas sehari-hari dapat dimanfaatkan untuk membelajarkan matematika kepada
anak. Jadi, matematika pada hakikatnya sangat dekat dengan aktivitas
sehari-hari. Melalui aktivitas
matematika, anak dapat menemukan dan mengaplikasikan konsep-konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
D.
Rumah Sebagai Sumber Belajar
Matematika
Rumah merupakan lingkungan yang terdekat dengan anak.
Anak menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Di rumah, anak dapat
menjumpai berbagai kesempatan untuk mengeksplorasi matematika melalui aktivitas
sehari-hari dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitar. Hal
ini sesuai dengan pernyataan “Your home is full of opportunities to explore
math with your child and, at the same time, build his or her self-confidence
and understanding of mathematical ideas” (http://www.ed.gov/pubs/parents/). Dengan kata lain, rumah dapat dijadikan sebagai sumber
belajar matematika bagi anak.
Sikap orang tua dan anggota keluarga lainnya terhadap
matematika dapat mempengaruhi sikap anak terhadap matematika. Anak yang orang
tuanya menunjukkan ketertarikkan dan antusiasme terhadap matematika di rumah
dan sekitarnya akan lebih mengembangkan
antusiasme anak tersebut terhadap
matematika. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hartog dan Brosnan (2005),
Parents' attitudes toward mathematics have an impact on
children's attitudes. Children whose parents show an interest in and enthusiasm
for mathematics around the home will be more likely to develop that enthusiasm
themselves.
Hal yang senada dinyatakan oleh Cox dan Lewis (1999b),
Parents and
other family members can influence their’s student math skills. Perhaps you
do not realize it, but whenever you sort objects, read maps or scedules,
compare prices, make change, or use calculator or calendar, you are a model
of mathematical behavior. When you measure, weigh, work with family finances,
or figure out how much wallpaper will cover a wall, you are a living
textbook!
|
Berbagai aktivitas di rumah seperti membaca peta atau
jadwal, membandingkan harga, menggunakan kalkulator atau kalender, dan
sebagainya merupakan aktivitas matematika. Orang tua atau anggota keluarga
lainnya seperti buku hidup (living textbook) bagi anak. Namun demikian,
hal tersebut tidak disadari sebagai aktivitas matematika yang sering
dilaksanakan dalam aktivitas sehari-hari.
Oleh karena matematika menunjang perkembangan IPTEK,
sangat penting bagi anak untuk belajar matematika di rumah seperti halnya
belajar matematika di sekolah.
As our children go about their daily lives exploring and
discovering things around them, they are exposed to the world of mathematics.
And since mathematics has become increasingly important in this technological
age, it is even more important for our children to learn math at home, as well
as in school (http://www.ed.gov/pubs/EarlyMath).
Cox dan Lewis (1999b) mengemukakan beberapa aktivitas
matematika yang dapat dilakukan oleh orang tua dan anak di rumah, yaitu estimation
activities, traveling activities, cooking/shooping activities,
household activities, dan playing games. Dengan demikian, berbagai aktivitas di berbagai tempat
dapat dimanfaatkan untuk membelajarkan matematika kepada anak.
Allendoerfer.
1965. Mathematics For Parents. New
York: The Macmillan Company
Asmin.
2001. Implementasi Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) dan Kendala yang Muncul di Lapangan. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/
44/asmin.htm Diambil pada tanggal 26 Agustus 2005
Atherton,
James. 2005. Piaget. http://www.learningandteaching.info/learning/piaget.htm.
Diambil pada tanggal 8 Maret 2007
Cox, Jackie L dan Lewis, Tom. 1999a. NCTM Standards. http://www.ictm.org/parents/nctm.html. Diambil
pada tanggal 9 Maret 2007
______. 1999b. Help Your Child See How Mathematics is a Part of Daily
life. http://www.ictm.org/parents/dailylife.html
. Diambil pada tanggal 9 Maret 2007
Erman Suherman, dkk. 2003. Strategi
Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI
Hamzah. 2005. Pembelajaran Matematika
Menurut Teori Konstruktivisme.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/40/Pembelajaran%20Matematika%20Menurut%20Teori%20Belajar%20Konstruktivisme.htm.
Diambil pada tanggal 20 Agustus 2005
Hartog, Martin D. dan Brosnan, Patricia A. 2005. Doing Mathematics with Your Child. http://www.math.com/parents/articles/domath.html. Diambil pada tanggal 27 Juni 2007
http://www.anakdankeluarga.blog.com/. 2004. Kemampuan
Memahami Angka dan Matematika Pada Anak suatu Tinjauan Budaya dan Kognitif..
Diambil pada tanggal 12 Februari 2006
http://www.ed.gov/pubs/parents/Math/mathhome.html. 1999. Math in the home.
Diambil pada tanggal 20 Maret 2007
http://www.ed.gov/pubs/EarlyMath/whatis.html. 1999. What Is Mathematics?. Diambil pada tanggal 20 Maret 2006
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/25/jateng/39099.htm.
2006
Matematika Harus Dibuat Menarik dan Populer, Ikut Tentukan Keterampilan
Anak. Diambil pada tanggal 10 Mei 2007
http://www.ed.gov/pubs/parents/Math/mathhome.html.
1999. Math in the home. Diambil
pada tanggal 20 Maret 2007
http://www.ed.gov/pubs/EarlyMath/whatis.html.
What Is Mathematics?. Diambil pada tanggal 20 Maret 2006
http://www.bbc.co.uk/cbeebies/grownups/children_learn/numeracy/mathsforparents/index.shtml?article_page4. Mathematical for Parents. Diambil pada tanggal 8 Maret 2007
http://www.bbc.co.uk/schools/numbertime/parents/activities_explained.shtml. Games explained . Diambil pada tanggal 8 Maret 2007
http://www.bbc.co.uk/schools/numbertime/parents/home_activities/everyday_maths.shtml.
Activities explained. Diambil pada tanggal 8 Maret 2007.
http://www.bbc.co.uk/schools/numbertime/parents/home_activities/reception_h.shtml. Parents Things to do at home. Diambil
pada tanggal 8 Maret 2007
http://www.bbc.co.uk/schools/numbertime/parents/home_activities/year1_h.shtml.
Reception. Diambil pada tanggal 8 Maret 2007
I Gusti Putu Suharta. 2001. Matematika
Realistik : Apa dan Bagaimana?. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/38/Matematika%20Realistik.htm.
Diambil pada tanggal 9 November 2005
Nasrulloh Idris. 2003. Kiat Mengajarkan Matematika Kepada Bayi
Berusia 0 - 1 Tahun. http://centrin.net.id/~agul/Matematika-1.html. Diambil
pada tanggal 10 Mei 2007
National Center for Education Statistics (NCES). 2003. Average
Mathematics Scale Scores of Eighth-Grade Students, by Country: 2003. http://nces.ed.gov/
timss/timss03tables.asp?figure=5&Quest=5.Diambil pada tanggal 19 April 2007
Wikipedia. 2007. The Stage of Cognitive Development. http://en.wikipedia.org/
wiki/Jean_Piaget#The_stages_of_cognitive_development. Diambil pada tanggal 9 Maret 2007
Winconsin Center for Education Research (WCER). 2000. Student
Centered Learning.
http://www.wcer.wisc.edu/step/ep301/Fall2000/Tochonites/ stu_cen.html. Diambil pada 5 Desember 2006
National Center for Education Statistics (NCES). 2003. Average
Mathematics Scale Scores of Eighth-Grade Students, by Country: 2003. http://nces.ed.gov/
timss/timss03tables.asp?figure=5&Quest=5.
Diambil pada tanggal 19 April 2007

Betway Casino Review | No Deposit Bonus Codes 2021
BalasHapusClaim your bonus without making any deposit! The 검증사이트목록 latest Betway online 메이플 캐릭터 슬롯 casino bonus codes, free 골인 벳 먹튀 spins, 하하 포커 instant play, 일본야구 분석 사이트 video poker, keno,